Menggerus Generasi Lingua-franca


Tuliskanlah setiap jengkal kebenaran, agar sejarah akan tetap terkenang dengan benar

Benarkah teks (tulisan) menyimpan peradaban manusia?

Dalam bahasa inggris, peradaban disebut civilization. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan civilization sebagai “suatu tehepan perkembangan budaya ketika manusia sudah dapat menulis dan menyimpan catatan”. Definisi ini jelas meletakkan teks sebagai dasar peradaban, bukan sekedar menyimpan peradaban layaknya sebuah museum.

Berbicara tentang teks atau tulisan, maka hal ini tak luput dari peran sistem  penulisan dari Byblos. Byblos sangat revolusioner karena kemudahannya untuk dipelajari sehingga huruf Byblos dapat disusun untuk membunyikan bahasa lain sesuai keinginan penggunanya. Bahkan Yunani yang terkenal idealisnya kemudian mau mengadopsi dan menggunakan huruf Byblos. Yunani kemudian memodifikasi huruf tersebut dengan penyisipan huruf vokal yang kemudian sistem Yunani ini dikenal dengan alfabet. Sistem alfabet kemudian tersebar lebih luas dan bertahan berabad-abad hingga hari ini.

Konsekuensi penemuan dari alfabet bisa jadi mengakibatkan sejarah manusia akan sangat berbeda. Bisa jadi tidak akan ada pemikiran tokoh sekaliber Plato, Aristoteles, Socrets bahkan Prof Tejoyuwono Notohadikusumo bisa kita baca dan pelajari.

Kini teks mulai menemui tantangan yang akan menentukan nasibnya di masa depan, yaitu perkembangan teknologi komunikasi da dampak pada dinamika bahasa. Teknologi komunikasi terkolerasi dengan akses informasi yang semakin praktis, hingga berakibat bukan lagi kedalaman dalam penyampaian informasi namun paradigm praktis kemudian menjangkiti setiap elemen bacaan.

Kecepatan perputaran informasi kemudian menjadi bomerang tersendiri terkait dinamika berbahasa masyarakat. Bahasa Indonesia misalnya, bobot diskursusnya semakin dikrucilkan dengan bebasnya penggunaan media. Kekhawatiran Imam Finansia akan penggunaan tulisan oleh mereka yang tidak siap justru kembali relevan di era modern. Penggunaan bahasa yang tidak tepat atau bahkan sengaja disalahartikan terus saja diproduksi dan dipertontonkan kepada masyarakat luas. Akibat penggunaan kata yang tidak bertanggungjawab, upaya untuk menjadikan bahasa sebagai tipe diskursus bersama menjadi terancam bahkan bisa jadi akan segera mengalami kegagalan.

Sebaliknya, semakin berbobot diskursus, bahasa (red: Indonesia) kini justru kembali menjadisebatas lingua-franca, bahasa pergaulan sehari-hari. Bedanya jika dulu bahasa lingua-franca digunakan di tempat perjudian namun kini lingua-franca digunakan disetiap dimensi hingga media elektronik dimana akses publik lebih mudah. Penggunaan lingua-franca yang tidak berbobot membuat daya pikir masyarakat semakin banal : dangkal, tumpul dan mengulang-ulang.

Bisa jadi banalisasi kini telah menjangkiti kaum elite segaris intelektual (red: mahasiswa). Kedepan diskursus keilmuan tidak bisa dibiarkan hanya sebatas kepraktisan dalam akses akan tetapi menghidupkan kembali komunitas intelektual seperti era falsafah dimana ilmu dan teks mrupakan hal yang istimewa. Bukan kemudian lingua-franca adalah era baru yang harus digerus generasi ini, namun bagaimana kemudian kesalahan lingua-franca menjadi pelajaran bersama untuk menghasilkan kebermanfaatan bersama atas teks, ilmu dan masyarakat. Memikirkan kembali gelora kaum Intelek dalam ketajaman menggunakan ilmu sama saja memberikan masa depan masyarakat yang lebih unggul dan bermartabat.

Oleh : Angga Rieskiyanto

Leave a comment